Winnie The Pooh Glitter

Sunday, 25 May 2014

Mimpi Si Anak Ladang


           
            Pagi yang cerah dengan kicauan burung sebagai musik pengiring bangun tidur ku. Seperti biasa, aku bangun pukul 05.00 pagi dan langsug berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah aku melaksanakan sholat subuh, aku pergi ke ladang untuk membantu ibu ku. Ladang itu bukan lah ladang milik kami, namun itu adalah ladang milik juragan tanah disini, pak Narto namanya. Ibuku hanya diberi amanah untuk mengurus ladang milik pak Narto. Ketika panen datang, Pak Narto memberikan kebebasan kepada ibu ku untuk memanfaatkan hasil panennya.ibu ku selalu membagi dua, separuh untuk dijual dan separuhnya lagi untuk dimakan. Ya, kami ini hanyalah keluarga yang sederhana, bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Ayahku sudah meninggal dunia sejak aku berumur 9 tahun dan sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ibuku.
            Tak pernah terlintas dibenakku unuk sekolah sampai mendapat gelar sarjana. Karena aku tau ibu ku pasti pusing untuk mencari dana itu. Bisa makan pakai nasi saja kita sudah sangat bersyukur. Hmm.. tapi sebenarnya aku punya mimpi, aku bermimpi untuk menjadi pemimpin bangsa. Terlalu tinggi, ya memang. Ibu ku saja pernah bilang “ Jangan terlalu dalam memiliki mimpi nak, kita ini hanya keluarga yang sederhana, bisa ketemu beras saja ibu sudah sangat bersyukur.” Raut kecewa yang mulai muncul di wajahku, aku tepis dengan senyuman yang terlihat sedikit asam. Tak bisa berkata apa-apa. Ya ibu benar aku ini hanya anak petani yang setiap tahun berharap musim panen selalu datang agar ibuku dapat uang.
            Tahun ini aku lulus dari tingkatan Sekolah Menengah Atas. Dan aku berpikir untuk stop sampai di jenjang ini dan langung mencari pekerjaan. “Bu, hari ini hari kelulusan ku, apakah ibu bisa datang kesekolah ku ?” tanya ku sambil mengambil secentong nasi yang sudah tersedia di atas meja makan. “ Maaf nak, sepertinya ibu tidak bisa. Hari ini pak Narto meminta ibu untuk memanen singkong dan membuatkannya getuk untuk acara dirumahnya.” Jawab ibu yang sedang bersiap siap pergi ke ladang. “Hmm.. yasudah tak apa. Do’akan aku ya bu, agar aku dapat lulus dengan nilai yang sempurna.” Kata ku dengan suara merendah. “Do’a ibu akan selalu menyertai perjalanan mu, nak”
            Tepat pukul 07.00 pagi aku berangkat kesekolah. Jarak kesekolah ke rumah ku tak begitu jauh, cukup dengan berjalan kaki saja sudah bisa sampai kesekolah tanpa harus mandi keringat karena kelelahan. Sekolah yang tak semewah sekolah di kota-kota besar. Kelas dengan atap yang bolong dan meja sedikit rapuh, itulah pemandangan yang setiap hari ku lihat. Sebenarnya aku kecewa sama bapak pemerintah, kenapa hanya sekolah di kota besar yang selalu diperhatikan dan mendapat fasilitas yang bisa dikatakan ‘Waw’, sementara kami anak desa, hanya dapat bersekolah dengan fasilitas yang seadanya. Tak dapat ku tolak memang, karna kami pun tak sanggup untuk membayar semua fasilitas yang ada di sekolah mewah, tapi tak adakah kesempatan bagi kami untuk sedikit mencicipi kenyamanan itu ? hmm.. mungkin jawabannya adalah ‘SULIT’.
           
            Ketika sampai disekolah, halaman depan sekolah sudah dipenuhi oleh teman-teman ku yang akan menerima hasil tes kelulusan. Dengan wajah cemas mereka sabar untuk menunggu pengumuman itu. Dengan didampingi oleh orang tua mereka, mereka meminta do’a agar mereka mendapat kata ‘LULUS’ dari kertas itu. Hanya aku, ya hanya aku yang datang sendiri tanpa ditemani ibu. Mencoba bilang “Tak apa” tapi rasanya tak sanggup. Aku iri dengan mereka yang datang bersama ibunya. Ya walaupun, sekolah ini sederhana, tapi teman-teman ku yang bersekolah disini tak semuanya miskin. Ririn anak bungsu Pak Narto juga bersekolah disini. Sempat aku bertanya kepadanya “Kenapa kamu bersekolah disini ? kenapa tidak dikota saja ? disana sekolahnya lebih enak dan lebih bagus. Dan bapak mu pasti mengizinkan mu.” “Aku tidak mau sekolah disana, aku ingin sekolah disini saja. Aku ingin membuktikan kepada dunia kalau kita anak desa juga bisa berprestasi tanpa fasilitas yang kaya dunia dongeng bagi kita” katanya dengan gaya sok bijaknya. Ririn memang anak yang sederhana walaupun bapaknya adalah seorang juragan tanah, yang berarti dia adalah anak terkaya di desa ini tapi dia tak mau berdiri di ketiak bapaknya. Yang selalu menuntut ini itu.
            Aku selalu berkhayal, jika mimpi ku sebagai pemimpin terwujud. Aku akan merenovasi sekolah ini. Menutup lubang genting yang bocor dan mengganti meja dengan yang leih baik. Sehingga tak ada lagi yang bukunya basah karena terkena air hujan dan berisik bunyi ‘ngek ngok’ dari meja dan bangku yang mulai menua. Tapi kembali lagi, aku ini hanya lah anak dari buruh tani yang tak memiliki banyak uang. Sedikit harapan bagi ku untuk mewujudkan mimpi itu. Tapi tak adakah kesempatan sedikit saja untuk aku mewujudkan mimpi itu ?. Seandainya saja pemerintah tak selalu memandang yang kaya, mungkin semua anak seperti ku yang tak punya uang akan mendapat kesempatan yang sama dengan anak gedongan yang berlimpah harta untuk dapat sekolah dan mencapai mimpinya.     
            “Hei, sedang apa kamu ? ngelamun saja. Nanti ayam tetangga sebelah keselek lho.” Ucap Ririn yang mengejutkan ku. “ haish.. si Ririn teh ada-ada aja. Itu si ayam mah keselek biji jagung, bukan karena aku ngelamun.” “Haha.. lagi kamu mah ngelamun aja dari tadi. Oh iya mana ibu mu ? tak datang ?” “tidak, ibu ku pergi keladang karena dapat tugas dari bapak mu.” Jawab ku dengan wajah sedikit kecewa. “Owalah gitu. Yaudah kamu bareng aku sama ibu ku aja atuh.” Katanya sambil menarik tangan ku. “eh gak apa-apa, Rin ?” kata ku sambil berjalan mengikuti Ririn. “ Iya gak apa-apa. Kamu teh kaya sama siapa saja.” Katanya sambil melirik kebelakang ke arah ku.

            Tepat pukul 09.00 pagi pak kumis, bapak kepala sekolah SMAN Cahaya Bumi sudah mulai cek sound. Semua orang yang datang pun, mulai merapat kesumber suara dan mulai terfokus dengan kata-kata yang akan di ucapkan sang kepala sekolah. “ Assalamu’alaikum wr.wb, pada hari ini kalian akan mendapatkan hasil dari kerja keras kalian selama ini. Semoga kalian semua dapat lulus dengan nilai yang tidak mengecewakan” tuturnya dengan berwibawa. Ini lah waktunya, setiap anak mendapatkan amplop yang didalamnya sudah diberi keterangan “lulus atau tidak”. Instruksi  1 2 3 itu pun sudah ku dengar dan kita pun mulai membuka isi amplopnya dengan pelan-pelan. Dan “Allahu akbaaar. Aku lulus” suara haru tangis pun mewarnai sekolah ini. Semua sujud syukur dan memeluk bu mereka masing-masing. Aku pun, lulus dengan nilai terbaik. Ini adalah hadiah pertama ku yang akan ku berikan kepada ibu yang sedang bekerja keras diladang. Dan inilah hasil akhir Sekolah Menengah atas ku. “ Ibuuu... aku lulus bu. Aku lulus” ucap ku dengan menitihkan air mata. Aku pun berlari ke ladang untuk menemui ibu ku dan memberi tau ibuku ku kalau aku telah lulus. Senyum diwajah ibuku adalah jawaban terindah, mata ibu yang berkaca=kaca tak mampu ku lihat, aku pun memelukya dengan erat. Aku pun meyakinkan ibu ku kalau mimpi ku akan menjadi kenyataan. Dan Aku Shinta akan berusaha untuk mewujudkan itu semua. Tak ada yang tak mungkin. Karna anak ladang juga berhak untuk bermimpi.

No comments:

Post a Comment