Pagi yang cerah
dengan kicauan burung sebagai musik pengiring bangun tidur ku. Seperti biasa,
aku bangun pukul 05.00 pagi dan langsug berjalan ke kamar mandi untuk mengambil
air wudhu. Setelah aku melaksanakan sholat subuh, aku pergi ke ladang untuk
membantu ibu ku. Ladang itu bukan lah ladang milik kami, namun itu adalah
ladang milik juragan tanah disini, pak Narto namanya. Ibuku hanya diberi amanah
untuk mengurus ladang milik pak Narto. Ketika panen datang, Pak Narto memberikan
kebebasan kepada ibu ku untuk memanfaatkan hasil panennya.ibu ku selalu membagi
dua, separuh untuk dijual dan separuhnya lagi untuk dimakan. Ya, kami ini
hanyalah keluarga yang sederhana, bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Ayahku
sudah meninggal dunia sejak aku berumur 9 tahun dan sekarang aku hanya tinggal
berdua dengan ibuku.
Tak pernah
terlintas dibenakku unuk sekolah sampai mendapat gelar sarjana. Karena aku tau
ibu ku pasti pusing untuk mencari dana itu. Bisa makan pakai nasi saja kita
sudah sangat bersyukur. Hmm.. tapi sebenarnya aku punya mimpi, aku bermimpi
untuk menjadi pemimpin bangsa. Terlalu tinggi, ya memang. Ibu ku saja pernah
bilang “ Jangan terlalu dalam memiliki mimpi nak, kita ini hanya keluarga yang
sederhana, bisa ketemu beras saja ibu sudah sangat bersyukur.” Raut kecewa yang
mulai muncul di wajahku, aku tepis dengan senyuman yang terlihat sedikit asam.
Tak bisa berkata apa-apa. Ya ibu benar aku ini hanya anak petani yang setiap
tahun berharap musim panen selalu datang agar ibuku dapat uang.